NTT, Singkong, dan ‘Politik Pangan’ Mengurangi Konsumsi Beras

Heriyanto Soba saat bertugas di Papua.

Catatan ringan ini sebenarnya hanya menjadi pengantar menjelang Musyawarah Daerah (Musda) Forum Komunikasi Alumni-Perhimpunan Mahasiswa Katolik RI (Forkoma – PMKRI) Nusa Tenggara Timur (NTT) pada akhir pekan ini. Jika tulisan ini menyebar luas, dengan meniadakan embel-embel identitas, maka konteksnya tidak hanya relevan untuk NTT tetapi juga tingkat nasional. Ditulis oleh Heriyanto Soba *)

Apa urusannya alumni PMKRI dengan singkong? Ini pertanyaannya mirip dengan Koko Rudy yang lahannya saya kontrak untuk jemur gaplek di Kampung Singkong Sentul, Bogor, Jawa Barat. “Sudah punya ijazah S2 dari IPB kok ngurus singkong. Lebih baik urus yang lain saja Bung, lebih untung,” itu pernyatannya ketika melihat saya dan dua karyawan yang berkeringat deras memikul potongan singkong untuk dijemur. Benar juga, akibat pandemi Covid-19 dan harga gaplek anjlok, usaha yang menghidupi sekitar 8 orang itu terpaksa ditutup sementara dan saya beralih menjadikannya wisata rakyat berbasis singkong.

Baca : Saus dan Wisata Kampung “Eksklusif”, Panen Singkong Rp 50.000 Per Pohon

Singkong atau ubi kayu sangat akrab di seantero NTT dan hampir sebagian besar Indonesia. Setiap orang yang lahir dan besar di kawasan Indonesia Timur, pasti akrab dengan makanan yang identik menjadi penyangga ketika paceklik. Sama halnya di Gunung Kidul atau beberapa daerah di Jawa Timur.

Sekitar 10 tahun lalu, dua minggu saya mengelilingi hampir seluruh pelosok Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Ada beberapa kawan yang saya ajak, salah satunya Bung Maxi Leltakaeb (mantan Ketua PMKRI Cab Kupang) untuk mencari data dan memetakan potensi singkong. Selain ke lapangan bersama petani, saya bertemu dengan beberapa pihak di pemerintahan, tokoh masyarakat, hingga pedagang dari Jawa Timur yang ke TTU hanya jualan keripik singkong. Lagi-lagi, ada yang sinis sambil guyon. Wartawan media nasional kok datang ke NTT hanya urus singkong. Belakangan yang bersangkutan baru mengerti kenapa “singkong”. Itupun baru disadarinya ketika ramai pemilihan Gubernur NTT dan salah satu paket calonnya menenteng program kelor. Entah program kelor itu jalan atau tidak, Wallahu a’lam.

Baca : Industri Makanan dan Minuman Rumahan Harus Punya Sertifikat SPP-IRT

Ada dua hal yang membuat saya terkesan selama survey di TTU tersebut. Pertama, seorang suster dan satu pastor (maaf lupa nama-nama mereka dan bisa dicek lagi). Suster tersebut mengajarkan berbagai menu makanan dari olahan singkong di sekolahnya. Sang pastor menanam singkong dengan uji coba zat pengatur tumbuh. Belakangan program pastor itu tidak efisien karena kesulitan pasar. Kedua, menikmati Laku Tobe (makanan lokal Timor dari singkong) yang cukup enak.

Beberapa tahun kemudian, pengalaman di atas saya ceritakan kepada Bung Bedi Roma, Vera Aja, dan beberapa adik lain di Marga PMKRI Kupang. “Aih Kaka, omong singkong ini kita pung makanan dari kecil,” begitu celetuk mereka ramai-ramai. Banyak hal yang didiskusikan soal singkong sambil menikmati kopi racikan adik-adik Marga. Mereka terkaget-kaget saat itu Indonesia masih mengimpor tapioka (olahan dari singkong dan biasa disebut aci atau kanji). Sebagaimana komoditas lainnya, ada banyak aspek terkait impor dan salah satunya soal fee sesama elite penguasa.

Selain singkong, ada beberapa hal yang membuat saya bertemu dengan kawan-kawan alumni PMKRI dan kelompok Cipayung lainnya, seperti di Kupang, yakni Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Kelompok Kerja Menentang Perdagangan Manusia (Pokja MPM). Salah satu yang fenomenal ketika urus Pokja MPM dan beberapa jaringan di NTT (terutama Romo Leo Mali dan Sarah Mboeik) mendorong polisi Rudy Soik membongkar permainan pengusaha nakal dan “oknum” di Mabes Polri terkait perdagangan manusia (human trafficking) di NTT. Isu itu sempat diseminarkan Forkoma PMKRI di Kupang pada Februari 2016 lalu dan dihadiri Ketua MPR RI Zulkifli Hasan, kemudian dilakoni secara konsisten oleh senior Bung Gabriel Sola.

Seorang ibu tengah menjemur tapioka (agrifood.id)

Sejak tahun 2001-2007, organ KIPPDa NTT dan AJI NTT itu sama pentingnya seperti saya mendorong kawan-kawan untuk menggairahkan singkong di kampung masing-masing. Bukan melawan impor, tapi diolah untuk makan sendiri layaknya Laku Tobe atau lainnya. Ada beberapa pentolan KIPPDa NTT saat itu nyaris jadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena umumnya perolehan nilai saat seleksi cukup tinggi. Bekalnya dari urus KIPP. Namun, politik dan pemimpin lokal beberapa daerah tidak menghendaki “anak nakal” pentolan KIPP menjadi anggota KPU. Mungkin hanya satu kawan pengurus AJI yang dengan susah payah akhirnya bisa menjadi komisioner Bawaslu NTT, sebagaimana di beberapa provinsi lainnya.

Beberapa hal diatas membuat kebiasaan mampir di Marga dimanapun di Indonesia sewaktu mahasiswa, terbawa juga ketika sudah alumni, terutama sejak mengurus Forkoma PMKRI. Semisal membahas singkong di Marga Kupang atau ketika di Marga Makassar berusaha menyempatkan menikmati sop ubi yang juga diracik dari singkong. Maklum, pengurus dengan segala keterbatasannya disarankan untuk meluangkan waktu 2-3 jam (saat tugas kantor ke daerah-daerah) agar berdiskusi dengan adik-adik PMKRI atau mendorong beberapa alumni agar sering bersilaturahmi di kotanya masing-masing.

Memanggang opak dari olahan singkong di Kampung Singkong Sentul (agrifood.id)

Sejak awal, Forkoma PMKRI disarankan para senior-senior saat itu agar menjadi forum silaturahmi yang memperkuat fraternitas. Fraternitas diperlukan menjelang reformasi ketika “friksi-friksi” kelompok alumni dan politik Katolik cukup tajam saat itu. “Dana kegiatan Forkoma PMKRI jangan mengurangi jatah adik-adik PMKRI yang aktif buat kegiatan. Daripada acara mahal-mahal, lebih baik untuk kaderisasi dan memperbanyak anggota yang semakin berkurang,” begitu salah satu pesan Alm Chris Siner Keytimu, Ketua Forkoma PMKRI yang digantikan Hermawi F Taslim.

Pesan “hemat” itu pula yang membuat beberapa kegiatan Forkoma PMKRI biasanya dibarengi ketika momentum keagaman Katolik. Beberapa kali pentahbisan uskup di Indonesia, biasanya H-1 atau H+1 ada konsolidasi alumni PMKRI. Tanpa gembar gembor di medsos atau apapun. Kaka Dion B Putra dan Bung Domuara Ambarita (pentolan Tribunnews Network), adalah saksi terkait agenda tersebut. Demikian juga perhelatan Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) dan Pemuda Katolik (PK). Mengapa? Pertama, para pihak yang hadir pada momentum tersebut setidaknya 30-40% pasti alumni PMKRI (data ini belum valid, tapi faktanya hanya PMKRI yang aktif kaderisasi sejak 1950-an). Kedua, selain hemat, para alumni yang hadir pun tidak membuang waktu khusus hanya sekadar ber-Forkoma ria.

Baca : Upsus Pajale Ubah Lahan Kering, Buku ‘NTT Su Bisa’ Diluncurkan

Ada yang menarik soal “paket hemat” ala Forkoma PMKRI ini. Bersama Ansy Lema yang kalah suara saat MPA PMKRI 2002 di Kupang dari Mba Restu Hapsari, beberapa kawan (diantaranya Bung Robert Nalenan dan Mas Petrus Budiharto) mendorong saya untuk maju lagi di PK. Untuk itulah saya dijadikan sebagai Wakil Ketua PK Bogor yang ketika itu Komda PK Jawa Barat dijabat Natalis Situmorang, mantan Ketua PMKRI Sumedang. Obrolan-obrolan ringan soal PK itu terdengar pentolan Forkoma PMKRI, dari Kak Stefanus Farok, Paulus Januar, Barnabas Y Hura, Hermawi Taslim, Leonardo Renyut, Muliawan Margadana, dan Susanto pengagas “Pempek Seorang Sahabat” yang sangat mengidolakan tapioka Bogor.

Sejak awal tahun 1990an hingga 2000an, PK dalam kondisi yang sekarat lalu dibangunlah komunikasi dengan Ketua PK saat itu (Alm) Niko Uskono. Bagi Niko, sudah saatnya kader-kader Katolik mengikuti jejak teman-teman Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dengan jenjang dan jalur organisasinya yang rapi. “PK harus berterima kasih karena sudah mendapatkan kader-kader yang terlatih di PMKRI. Daripada mati suri, jika setiap kota ada 3 saja alumni PMKRI aktif di PK, maka hiduplah organisasi. Ayo aktifkan ormas yang sudah ada,” demikian kata senior-senior dalam Forkoma PMKRI saat itu.

Pesan utamanya, alumni PMKRI harus jadi Ketua PK. Bung Melky Laka Lena kemudian menjadi manajer kampanye dibantu Aloy Rebong, Jim Lomen Sihombing, Lamhot Simanulang, dan beberapa kawan lainnya. Konsolidasi pun dilakukan dan setelah ditelusuri hampir 60% dari pengurus PK yang hadir pada kongres di Ambon saat itu adalah alumni PMKRI. Di tengah suasana kongres yang tegang pun, Kang Muliawan Margadana (kemudian menjadi Ketua ISKA) yang sedang bertugas di Ambon masih sempat mampir ke markas untuk memastikan PMKRI harus jadi Ketua PK.

Singkat cerita, menjelang pemilihan suara, ada dua kandidat dari alumni PMKRI dan satu non-PMKRI. Jika tetap bertarung dipastikan suara pecah. Dengan besar hati (meski ada tim yang tidak rela), saya mengalah agar alumni PMKRI terpilih dan semua “adik-adik” saya menjadi pengurus teras di PK periode Natalis Situmorang. Itulah obrolan lepas di Forkoma PMKRI kemudian mewariskan PK yang sudah “luar biasa” bangkit. Suatu ketika saya dikagetkan oleh Sekjen PK Christopher Nugroho yang mengirim foto saat adu program jelang pemilihan Ketua PK 2004 di Ambon. Mirip kenangan indah seperti tegangnya suasana MPA di Banjarmasin, Jakarta, dan Kupang hehehehehe..

Kembali soal singkong dan alumni PMKRI. Salah satu yang paling sederhana dan tanpa sadar sudah dilakukan semua warga NTT adalah meningkatkan konsumsi singkong dalam sebuah “gerakan bersama”. Ada beberapa terobosan yang pernah dilakukan pemerintah, sejumlah kepala daerah dan beberapa komunitas lainnya di luar NTT, sayangnya tidak berkelanjutan. Sehari Tanpa Nasi atau kerennya disebut One Day No Rice. Ada satu hari dalam seminggu, semua anggota dan alumni PMKRI NTT bahkan nasional tidak makan beras. Bisa singkong, talas, umbi-umbian, dll. Saya pun terhenyak ketika bulan lalu, Bung Vian Feoh (alumni GMNI Kupang yang saat ini berkarya di Jakarta) mengirimkan artikel Kompas tentang Ekonomi Singkong yang diulas cukup jeli.

Bayangkan Indonesia pernah mencatat rekor tertinggi konsumsi beras hingga 110 per kg per kapita per tahun dan konsumsi beras NTT termasuk tinggi. Tahun 2020 ini rata-rata konsumsi beras ditargetkan turun ke posisi 92,9 per kg per kapita per tahun. Jika konsumsi beras turun maka pendapatan petani serta mama-mama yang jual singkong, talas dan umbi-umbian di pasar-pasar se-NTT meningkat, ancaman diabetes bisa direm sedikit, lalu bendungan-bendungan yang dibangun pemerintahan Joko Widodo di NTT bisa dioptimalkan untuk sayur dan buah-buahan (hortikultura). Lebih bagus lagi yang sudah akrab dengan masyarakat, seperti alpukat, mangga, pepaya, dan sayuran lainnya.

Semoga ada oleh-oleh gerakan bersama usai perhelatan Musda Forkoma NTT yang bukan sekadar memilih elite sebagai ketua yang kemudian sibuk lalu “mati suri”. Selamat untuk semua kakak/abang, rekan-rekan dan adik-adik yang hadir maupun tidak hadir dalam Musda tersebut. Sayang saya tidak bisa hadir Musda, tetapi ada saatnya untuk kita bercerita lebih banyak soal singkong yang “Bewuk” (empuk dan enak). Salam sehat makan singkong, mari bangun NTT Cerdas. (kabarpangan.id@gmail.com).

Heriyanto Soba “Anak Singkong”
Sekjen BPN Forkoma PMKRI, Wasekjen Himpunan Alumni – Institut Pertanian Bogor (HA IPB), inisiator Kampung Singkong Sentul-Bogor (agrifood.id), editor buku/biografi dan pegiat Limbahnews.com.

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*