Korban Kriminalisasi Desak Ungkap Mafia Tanah yang Sesungguhnya

Jakarta, KP – Korban kriminalisasi kasus tanah di Jakarta mengajukan protes kepada aparat penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa hingga hakim. Tudingan mafia tanah yang disebar pihak Kepolisian Resor (Polres) Metro Jakarta Pusat ternyata tidak terbukti dan menghancurkan nama baik para korban. Untuk itu, aparat penegak hukum harus mengungkapkan mafia tanah yang sesungguhnya.

Devid dan Effendi adalah dua dari tiga korban kriminalisasi yang dituding sebagai mafia tanah di kawasan Bungur, Kemayoran, Jakarta Pusat pada Maret 2021 lalu. Tuduhan sepihak oleh Polres Metro Jakarta Pusat yang didukung Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Negeri Jakarta (PN) Pusat itu tidak mempunyai dasar hukum dan tidak pernah ditunjukkan barang bukti dalam persidangan.

“Selama persidangan tidak pernah ditunjukkan barang bukti yang menyatakan kami sebagai mafia tanah seperti yang disampaikan polisi dalam pemberitaan sejumlah media saat itu. Ini sangat merugikan dan menghancurkan nama baik kami,” ujar Devid dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (26/2/2022).

Dikatakan, banyak kejanggalan sejak awal penahanan oleh polisi hingga proses persidangan di PN Jakarta Pusat. Tindakan ‘pemaksaan’ itu terkesan untuk menunjukkan keberhasilan pada pimpinan penegak hukum dan menguatkan dugaan adanya ‘tekanan’ dari pihak tertentu.

Seperti diketahui, Kapolres Metro Jakarta Pusat Komisaris Besar Polisi Hengki Haryadi mengatakan telah mengamankan sejumlah tersangka dalam kasus penguasaan tanah di Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat. Adapun lahan yang disengketakan sebenarnya milik dari Induk Koperasi Kopra Indonesia dengan sertifikat Hak Guna Bangunan No.567 atas nama JAJASAN KOPRA. Sebelum menahan Devid dan Effendi, Polres Jakarta Pusat menangkap delapan orang preman berinisial HK, EG, RK, MH, YB, WH, AS, dan LR yang diduga menguasai lahan itu, serta AD yang merupakan oknum pengacara.

“Usai pengembangan, tersangka yang diamankan sesudahnya adalah MY, D dan E,” kata Hengki dalam keterangan di Jakarta, Kamis, (8/4/2021).

Sejak awal, kata Effendi, pihaknya berusaha meluruskan dan menilai ada ketikadilan dalam kasus tersebut. Dia bersama rekan-rekannya yang mendapat kuasa dari pemilik tanah yang sah justru menghadapi tekanan dari pihak yang diduga menjadi mafia tanah.

“Kalau kami tidak terbukti sebagai mafia tanah, lalu siapa sebenarnya yang jadi mafia tanah? Ini yang harus ditelusuri dan kami sangat mendukung aparat penegak hukum agar bisa menunjukkannya. Kami siap membantu dan bekerja sama,” ujar Effendi.

Dikatakan, pihaknya sangat dirugikan dengan tudingan sebagai mafia tanah. Lebih ironis, dakwaannya Pasal 335 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang tidak ada kaitannya dengan tudingan mafia tanah. Bahkan, sudah menjalani vonis 4 bulan dari putusan hakim PN Jakarta Pusat yang tidak pernah menunjukkan bukti-bukti pendukung dalam persidangan.

“Jika tidak diungkapkan dengan adil dan transparan terkait kasus tersebut, maka selama itu juga kami akan selalu dilihat sebagai mafia tanah. Sebaliknya, para mafia tanah yang punya kekuatan dan banyak uang justru tidak pernah terungkap,” tambah Devid.

Kejanggalan lain, lanjut dia, pihak yang melaporkan kasus itu justru sudah mencabut laporannya ke Polres Jakpus pada 10 Mei 2021 karena tidak ada kaitannya dengan korban kriminalisasi.Sebelum penangkapan pada April 2021 lalu, pihak kepolisian menuding para korban sebagai mafia tanah yang menyokong dana kepada sejumlah preman dalam menguasai tanah di Jalan Bungur Besar Raya, Kelurahan Bungur, Kemayoran, Jakarta Pusat.

Berangkat dari kriminalisasi ini, semua jajaran penegak hukum harus obyektif dan memegang teguh prinsip hukum dalam menyelesaikan berbagai kasus sengketa tanah. Sejumlah kasus menunjukkan aparat penegak hukum cenderung ‘terkecoh’ dan pemilik yang sah atau yang mewakilinya justru menjadi korban dan dikriminalisasi. [PR/01]

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*