Usaha Pisang Abaka di Maluku Tutup, Investasi Ratusan Miliar Perlu Diselamatkan

Serat pisang abaka (Ist)

AMBON, KP – PT Spice Islands Maluku (SIM) yang membudidayakan pisang abaka di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Maluku, telah menutup pengoperasian sejak 1 Juli 2024. Penutupan itu merupakan imbas dari persoalan sengketa lahan dengan sejumlah oknum masyarakat yang tak kunjung selesai.

Informasi yang diperolah Agrifood.id pada Senin (5/8/2024) menyebutkan ratusan karyawan, yang merupakan masyarakat asli Seram kehilangan pekerjaan. Kemudian aktivitas ekonomi lokal anjlok dan beberapa program beasiswa pendidikan pun harus terhenti. Padahal, PT SIM sudah melakukan investasi ratusan miliar sejak empat tahun silam.

Pilmon Matital selaku Sekretaris Desa Nuruwe meminta pemerintah daerah secara serius dan memberi prioritas atas persoalan tersebut. Selain Desa Nuruwe, budidaya dan pengolahan pisang abaka itu juga akan dikembangkan di Desa Lohiatala, Desa Hatusua dan Desa Kawa dengan nilai investasi ratusan miliar.

“Kehadiran PT SIM telah membuka lapangan pekerjaan khususnya di SBB. Kami sangat mendukung adanya kegiatan yang mengurangi pengangguran di bumi Saka Mese Nusa,” kata Pilmon, seperti ditulis dalam laman Humas Polri, Selasa (9/7/2024) lalu.

Menurutnya, PT SIM menyatakan tutup karena adanya oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Mereka sengaja membuat permasalahan sehingga perusahan ini terpaksa memberhentikan operasinya.

Yandro Somai, Ketua Saniri atau BPD Negeri Lohiatala juga mengharapkan hal yang sama. Ia menginginkan agar persoalan yang dialami PT SIM dapat segera diselesaikan. “Kami mengharapkan adanya perhatian khusus dari Pemerintah Kabupaten Seram Bagian Barat dan juga bapak ibu pemangku kepentingan agar secepatnya menyelesaikan persoalan yang terjadi,” pintanya.

Selain telah meningkatkan aktivitas ekonomi masyarakat, Yandro juga mengakui kehadiran PT SIM mampu menurunkan angka kriminalitas dan kemiskinan.

Senada dengan Pilmon dan Yandro, Paulus Tetehuka, karyawan PT SIM yang berdomisili di desa Hatusua, mengaku sangat dirugikan dengan adanya penutupan perusahaan. “Kami menolak dengan keras penutupan atau pemberhentian pekerjaan PT SIM khususnya di wilayah kami Desa Hatusua,” ungkapnya.

Paulus mengaku kehadiran PT SIM selama ini telah mensejahterakan keluarga, orang tua, maupun masyarakat adat di desa Hatusua. “Kami selama ini pengangguran, namun dengan kehadiran PT SIM kami bisa bekerja dengan upah sebesar Rp 118 ribu per hari,” katanya.

Sebelumnya, sebanyak 22 Raja dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) se Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), angkat bicara menyikapi perkembangan persoalan tersebut.
Bertempat di Tugu Patung Ina Ama, Kota Piru, Kabupaten SBB, Sabtu (6/7/2024), para raja-raja/Kepala Desa dan BPD menyatakan pernyataan sikap:

1. Mendukung sepenuhnya investasi yang dilakukan di kabupaten Seram Bagian Barat untuk mengelola sumber daya alam,

2. Meminta pejabat Bupati Seram Bagian Barat untuk segera mencabut SK pejabat Bupati lama NO.100.3/492 tentang pemberhentian sementara pembongkaran lahan oleh PT.SIM (Spice Islands Maluku),

3. Mendukung pejabat Bupati Seram Bagian Barat untuk mengizinkan PT SIM beroperasi kembali di bumi Saka Mese Nusa,

4. Mendukung Polda Maluku untuk memproses saudara Ma’ruf Tomiya dalam kasus pencemaran nama baik,

5. Menentang dengan keras oknum oknum di luar masyarakat Seram Bagian Barat yang memprovokasi dan ingin merusak kehidupan orang basudara. [AF/KP]

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*