Ubi Kayu, Pangan Lokal yang Tidak Pernah Layu

Warga memperhatikan berbagai produk turunan singkong dalam sebuah pameran di Jakarta belum lama ini.

Makassar, Kabarpangan.com – Siapa yang tidak mengenal ubi kayu atau lame kayu (singkong), ubi jalar atau lame lamba‘ hingga sikapa atau ubi hutan, casava, manihot utilissima, poteng, dll.

Sosok ubi kayu (juga disebut singkong) yang melegenda hingga masuk judul lagu, menggugah perasaan. Berikut petikan senandung lagu yang pernah hits era 80-an yang dibawakan oleh Ari Wibowo.

Sepatumu dari Italy
Kau bilang demi gengsi
Semua serba luar negeri

Manakah mungkin mengikuti caramu
Yang penuh hura-hura

Aku suka singkong kau suka keju
Aku dambakan seorang gadis yang sederhana

Aku ini hanya anak singkong
Aku hanya anak singkong

Demikian penggalan lagu dari lirik Singkong dan Keju oleh musisi sekaligus pencipta lagu, Ari Wibowo. Bersamaan itu pula dendang lagu dari musik MP3 yang diputar dari dalam Pete Pete atau angkutan kota di Makassar, Sulawesi Selatan, yang sementara menunggu penumpang di jalur kiri menuju Kota Maros.

Pagi itu, Jalan Perintis Kemerdekaan cukup ramai dengan deru kendaraan. Ramai memadati arah yang ke Makassar maupun arah ke Maros. Tidak jauh dari pertigaan jalan KH.Abd Jabbar Ashiry dekat gedung kepunyaan sebuah merk minuman yang terkenal, di Jalan Perintis Kemerdekaan, kita akan menjumpai deretan para pedagang dengan beraneka ragam jenis ubi yang dipasarkan.

Masih dapat dijumpai bekas tanah dari kulit luar ubi yang masih tersimpan dalam karung yang baru saja dipanen dari kebun. Sejumlah pedagang ubi yang sempat ditemui diantaranya Daeng Saleh , Daeng Samad dan beberapa pedagang lainnya.

Jenis jenis ubi kayu yang ditawarkan antara lain ubi kayu Tarakan/Lame Tarakang , dengan ciri kulit dalaman yang berwarna ungu, teksturnya agak besar dan berisi. Ada juga ubi kayu bangkok atau lame bangkok dengan ciri batang ubinya agak panjang dan pipih, warna putih pada kulit dalamnya.
“Ubi ubi ini didatangkan sejak subuh hari, dari daerah Moncongloe Kabupaten Maros setiap hari,” ucap Daeng Saleh.

Biasanya pembeli datang dari beberapa usaha kuliner di beberapa mall di Makassar dan Maros, hingga pelanggan dari kalangan ibu rumah tangga. Penjual aneka jenis ubi-ubian mentah ini memproduksi panganan dengan kisaran harga berkisar 15.000- 20.000 untuk satu gompo atau susun dari pukul 07.00 s.d 18.00 setiap harinya.
“Disini dapatki juga temukan ubi ungu, ubi jalar merah,” ujar Daeng Saleh seperti ditulis seorang netizen dalam Makassar.terkini.id belum lama ini.

Untuk sajian yang berbahan dasar ubi ini, diantaranya ubi kayu rebus, ubi jalar/Lame lamba‘ rebus hingga nasi tiwul dan nasi oyek dari singkong. Untuk tiwul dan nasi oyek terbuat dari tepung gaplek, yaitu singkong yang dikeringkan terus ditumbuk. Rasanya manis khas singkong, warnanya kecoklatan. Nasi tiwul rasa natural dengan citarasa singkong dapat dimasak dan disajikan dengan lauk pauk yang lain.

Seminar membahas singkong oleh MSI dan Kementerian Pertanian.

Konon sesuai kisah sejarahnya, nasi oyek tiwul hingga ubi ubian rebus dan sikapa atau ubi hutan adalah pangan yang dikonsumsi para pejuang dahulu dalam masa peperangan melawan penjajah.
Untuk penganan dari Sulawesi Selatan antara lain, beberapa jenis kue tradisional dari ubi yang terkenal seperti kue bandang-bandang, merupakan ubi mentah yang diparut kemudian dibentuk sesuai kepalan tangan dan diisi dengan pisang kepok, lalu dikukus kemudian setelah matang ditaburi dengan topping kelapa parut.

Ada juga kanrejawa atau kue Tara’jjong, penganan dari ubi yang diparut kemudian dikukus lalu setelah masak dicampur dengan adonan gula merah dan dilumeri dengan tepung terigu terlebih dahulu lalu selanjutnya digoreng Ada juga doko’ doko’ lame yakni ubi yang diparut dan dikukus memakai daun pisang, biasanya kanrejawa ini dihidangkan dengan secangkir kopi pahit atau teh hangat.

Sementara dari Jawa biasanya juga dibuat kudapan yang bisa dihasilkan dari singkong atau ubi kayu ini. Salah satunya getuk. Makanan ringan yang terbuat dari singkong ini merupakan jajanan pasar yang banyak ditemui di daerah Jawa Tengah atau Jawa Timur. Getuk sendiri terbagi menjadi dua macam, yakni getuk biasa dan getuk lindri. Bahannya biasa terbuat dari singkong kukus atau rebus yang ditumbuk dengan gula merah, diiris halus lalu disajikan bersama parutan kelapa.

Sementara getuk lindri biasanya diberi tambahan pewarna makanan pada singkong yang sudah ditumbuk halus bersama gula merah. Tak jarang juga getuk dikombinasikan dengan bahan makanan lainnya seperti ubi, talas, atau pisang supaya memberikan rasa dan aroma yang lebih nikmat.

Sementara untuk daunnya dapat dijadikan olahan sayur yang melegenda di masyarakat Indonesia, siapa tidak kenal dengan sayur daun ubi atau sayur tuttu yang berbahan dasar dari daun ubi.
Di setiap daerah tanah air memiliki nama yang beragam untuk salah satu sayur yang merakyat itu.

Pengolahannya dengan sayuran yang terbuat dari daun ubi/singkong yang ditumbuk. Secara tradisional daun singkong ini ditumbuk dengan menggunakan lesung atau assung assung, alu batu atau cobekan , meskipun demikian, cara lain dengan mengiris atau dicincang tipis.

Untuk olahan ubi dapat juga ditemui di daerah Maluku dan Maluku Utara, yang dikenal dengan nama Kasbi dalam bahasa lokal berarti ubi kayu, sehingga sagu kasbi adalah ubi kayu yang diolah menyerupai sagu lempeng sebagai makanan pokok di beberapa daerah di Maluku dan Maluku Utara pada umumnya.

Ubi kayu di daerah ini jarang dijual secara mentah tetapi diolah dulu dalam bentuk sagu. Bahan yang diolah tersebut dari bahan baku ubi kayu. Dibuat dengan cara mencetak tepung kasbi dalam cetakan berbentuk persegi, kemudian memanggangnya dalam forna atau cetakan sagu. Ada juga yang namanya kripik ubi, suatu camilan yang membuat lidah bergoyang apalagi yang pedas dan renyah.

Dan yang paling lumrah tentunya sajian ubi goreng atau ubi rebus siapa yang cukup dikenal luas.

Dari penelusuran sejarah, singkong ditanam secara komersial di wilayah Indonesia (waktu itu Hindia Belanda) pada sekitar tahun 1810 setelah sebelumnya diperkenalkan orang Portugis pada abad ke-16 dari Brazil.
Menurut Haryono Rinardi dalam Politik Singkong Zaman Kolonial, singkong masuk ke Indonesia dibawa oleh Portugis ke Maluku sekitar abad ke-16. Di zaman penjajahan, singkong menjadi alternatif ketika penduduk Indonesia dahulu harus bertahan hidup di tengah susahnya mencari bahan pangan seperti beras. Selain singkong, masyarakat dahulu juga mengandalkan ubi jalar sebagai sumber energi yang baik. [KP-06]

kabarpangan.com// agrifood.id@gmail.com

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*