Tentara, Pangan, dan Ambiguitas Pengelolaan Negara

Oleh : Sultani, Alumnus Universitas Indonesia (UI) dan Mantan Litbang Kompas

PENUNJUKAN Mayjen Novi Helmy Prasetya sebagai Direktur Utama Perum Bulog telah memicu polemik di berbagai kalangan. Bukan hanya karena posisinya sebagai perwira aktif saat ditunjuk, tetapi juga karena hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai keterlibatan militer dalam jabatan sipil. Undang – Undang TNI Pasal 47 dengan tegas mengatur bahwa prajurit aktif dilarang menduduki jabatan sipil kecuali dalam beberapa posisi tertentu yang berkaitan langsung dengan pertahanan negara. Perum Bulog tidak termasuk dalam instansi yang diperbolehkan dijabat oleh tentara aktif berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Panglima TNI Jenderal Agus Subianto pada 13 Maret lalu mengatakan, Mayjen Novi Helmy akan mundur dari kedinasan aktif militer di Mabes TNI. Dia mengatakan bahwa tentara aktif yang menduduki jabatan di Kementrian atau Lembaga (K/L) di luar ketentuan memang harus pensiun atau mundur. Sayangnya, Panglima TNI justru memutasi Mayjen Novi untuk kedua kalinya dari jabatannya sebagai Komandan Jenderal Akademi TNI menjadi Staf Khusus Panglima TNI untuk penugasan sebagai Dirut Perum Bulog.

Artinya, keputusan menempatkan perwira aktif di Perum Bulog tetap berjalan, meskipun mendapatkan banyak kritik dari akademisi, aktivis, hingga politisi. Pakar Tata Negara Universitas Andalas Feri Hamsari mengatakan, pemerintah menyalahi UU TNI dan UUD 1945 dengan menunjuk Mayjen Novi Helmy sebagai perwira aktif menjadi Dirut Perum Bulog. Sementara itu, pengamat militer Khairul Fahmi menilai penempatan Novi sebagai Dirut Bulog dapat menciptakan ambiguitas hukum yang berpotensi mengganggu netralitas TNI, yang pada akhirnya dapat memengaruhi independensi dan obyektivitas TNI dalam menjalankan tugas-tugas utamanya.

Sejak reformasi 1998, Indonesia telah berusaha keras untuk memisahkan militer dari urusan pemerintahan dan bisnis, menghapus sistem dwifungsi ABRI yang berlaku di era Orde Baru. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak perwira aktif maupun purnawirawan yang ditempatkan dalam berbagai posisi strategis di kementerian, BUMN, dan lembaga negara lainnya. Dengan kata lain, penunjukan Mayjen Novi Helmy sebagai Dirut Bulog bukan sekadar pergantian jabatan di sebuah lembaga pangan nasional, melainkan bagian dari fenomena yang lebih luas, yaitu kembalinya militer ke ranah sipil.

Di sisi lain, keberadaan Bulog sebagai institusi yang mengelola distribusi pangan nasional sangat krusial bagi stabilitas negara. Pangan bukan hanya soal kebutuhan dasar rakyat, tetapi juga menyangkut kedaulatan dan ketahanan nasional. Jika distribusi pangan terganggu, sangat rentan memicu gejolak sosial dan instabilitas politik. Oleh karena itu, pemimpin Bulog harus memiliki pemahaman mendalam tentang ekonomi, pertanian, serta rantai pasok logistik, kompetensi yang tidak selalu selaras dengan latar belakang militer.

Polemik ini mencerminkan adanya ambiguitas fungsi dalam struktur pemerintahan Indonesia. Di satu sisi, militer memiliki peran utama dalam menjaga pertahanan dan keamanan negara. Di sisi lain, ada kecenderungan untuk menempatkan mereka dalam jabatan-jabatan sipil dengan dalih meningkatkan disiplin dan efektivitas birokrasi. Akibatnya, muncul pertanyaan besar: apakah keterlibatan militer dalam ranah sipil ini benar-benar diperlukan, atau justru melemahkan profesionalisme institusi baik di dalam TNI maupun di sektor yang mereka pimpin?

1. Profesionalisme Tentara
Seorang prajurit diharapkan untuk netral dalam politik dan fokus pada tugasnya di bidang pertahanan. UU TNI Pasal 47 menegaskan bahwa prajurit aktif tidak boleh menduduki jabatan sipil kecuali dalam sektor yang terkait dengan pertahanan dan keamanan nasional. Dalam konteks demokrasi, profesionalisme tentara ini menjadi prinsip utama yang harus dijaga.
Namun, dalam praktiknya, masih sering terjadi anomali di mana perwira aktif ditempatkan dalam jabatan strategis di pemerintahan dan BUMN, seperti yang terjadi dalam kasus Bulog.Ketika tentara mulai masuk ke ranah sipil, ada risiko munculnya konflik kepentingan dan berkurangnya independensi mereka. Hal ini juga dapat memunculkan potensi ketidakadilan bagi sipil yang berkompeten di sektor tersebut tetapi kalah bersaing dengan perwira militer yang ditunjuk atas dasar kedekatan politik.

Secara kelembagaan, penunjukan tentara dalam jabatan sipil tanpa melalui mekanisme yang tepat juga berpotensi melemahkan reformasi demokrasi. Jika praktik ini terus berlanjut, ada kemungkinan besar bahwa militer akan semakin mendominasi sektor-sektor sipil, mengembalikan pola lama di mana mereka tidak hanya berfungsi sebagai alat pertahanan, tetapi juga sebagai pengelola negara.

Fenomena Mayjen Novi Helmy ini lalu memicu pertanyaan fundamental, apakah latar belakang militer relevan dalam pengelolaan sektor-sektor strategis seperti pangan? Padahal, dalam praktiknya, mengelola rantai pasok pangan membutuhkan pemahaman mendalam tentang ekonomi, pertanian, dan logistik. Sebaliknya, pengelolaan yang kurang tepat dapat menyebabkan inefisiensi dan bahkan gangguan dalam ketahanan pangan nasional. Kompetensi ini tidak selalu dimiliki oleh seorang tentara.

2. Pangan sebagai Sektor Strategis Nasional
Pangan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia yang menjadi faktor utama dalam stabilitas negara. Presiden Prabowo dalam bukunya “Paradoks Indonesia dan Solusinya” (2023) menyebutkan pangan sebagai masalah hidup-mati sebuah bangsa. Artinya, pangan bukanlah sekadar komoditas ekonomi, melainkan elemen strategis yang menjadi penentu eksistensi dan kemandirian sebuah bangsa di tengah dinamika global.

Oleh karena itu, pangan harus diperlakukan sebagai komoditas yang strategis untuk kepentingan bangsa Indonesia ke depan. Para penguasa negara harus mengembangkan sektor pertanian sebagai lumbung pangan nasional masa depan. Negara ini harus membangun kedaulatan pangan secara menyeluruh dari hulu sampai ke hilir dalam tata kelola rantai pasok. Ketahanan pangan bukan hanya tentang ketersediaan bahan makanan, tetapi juga soal keberlanjutan produksi, efisiensi distribusi, serta keterjangkauan harga bagi masyarakat luas. Sebagai negara dengan populasi besar, Indonesia memiliki tantangan besar dalam menjaga ketahanan pangan agar tetap stabil dan berkelanjutan.

Di sinilah peran Bulog menjadi sangat penting. Sejak didirikan, Bulog bertugas sebagai penyangga stok pangan nasional, menjaga stabilitas harga, dan menyalurkan bantuan sosial dalam bentuk bahan makanan. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, peran Bulog mengalami berbagai perubahan. Kebijakan liberalisasi pasar dan munculnya lembaga-lembaga pangan baru menyebabkan peran Bulog menjadi lebih terbatas dibandingkan masa lalu.

Dalam konteks kepemimpinan Bulog, penting untuk menempatkan orang-orang yang memiliki pemahaman mendalam tentang sektor pangan dan ekonomi. Keputusan menunjuk seorang perwira aktif sebagai Dirut Bulog menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas dan kapabilitas kepemimpinan tersebut dalam mengelola rantai pasok pangan yang kompleks.

Keterlibatan tentara dalam sektor pangan juga menimbulkan risiko monopoli dan birokratisasi yang lebih ketat. Dengan sistem yang lebih kaku, ada kemungkinan bahwa fleksibilitas Bulog dalam merespons perubahan pasar akan berkurang, yang pada akhirnya bisa berdampak pada harga dan ketersediaan pangan bagi masyarakat.

Penempatan perwira aktif dalam jabatan sipil harus dikaji ulang agar tidak merusak prinsip demokrasi dan profesionalisme militer. Pemerintah perlu menghormati batasan hukum yang telah ditetapkan, sehingga tidak ada lagi ambiguitas dalam fungsi tentara. Di sisi lain, sektor pangan harus dikelola oleh profesional yang memiliki pemahaman mendalam tentang rantai pasok pangan. Bulog bukan sekadar institusi administratif, tetapi juga pilar penting dalam ketahanan pangan nasional.

Untuk mencegah praktik serupa di masa depan, perlu ada penegakan regulasi yang lebih kuat, serta komitmen dari semua pihak untuk menjaga netralitas dan profesionalisme militer di Indonesia. Meski begitu, revisi UU TNI sudah disahkan oleh DPR. Kita tinggal mengontrol kinerja Bulog secara kritis agar bisa bekerja secara profesional sesuai tugas pokok dan fungsinya meskipun pimpinannya seorang tentara aktif. [kabarpangan.id@gmail.com/KP]

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*