
Jakarta, Kabarpangan.com – Beras analog dari umbi-umbian masih sulit untuk menggantikan keberadaan beras padi. Salah satu kesulitan tersebut adalah faktor penerimaan pasar karena harga yang belum bersaing dengan beras padi.
“Banyak tantangan yang harus dihadapi, salah satunya penerimaan pasar. Selama harga tidak bersaing dengan beras yang biasa, agak sulit diterima pasar,” ujar pakar pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso baru-baru ini.
Meskipun beras analog terbuat dari umbi-umbian, Dwi mengatakan harga beras analog jauh lebih mahal dibanding beras padi. Dia memberikan contoh singkong yang digunakan untuk menggantikan gandum sebagai bahan baku membuat mi.
Singkong yang seharusnya memiliki harga lebih murah dari gandum, setelah diolah menjadi mi, kemudian masuk ke pasaran harganya menjadi lebih mahal dari mi gandum.
“Sehingga mi yang terbuat dari singkong ini tidak bisa menembus pasar. Hal yang sama terjadi pada beras analog,” kata Dwi.
Selain harga, menurut Dwi, rasa juga menjadi faktor yang menentukan diterimanya beras analog.
Indonesia memiliki beragam varietas beras yang disukai oleh masyarakat daerah tertentu. Misalnya, varietas beras pera lebih diterima oleh masyarakat di daerah Sumatera, sementara masyarakat di daerah Jawa umumnya lebih menyukai beras pulen.
Selain tekstur beras, menurut Dwi, aroma beras juga disukai masyarakat tertentu. Beberapa daerah di Tanah Air lebih menyukai aroma beras yang wangi.
Tidak hanya itu, alasan kesehatan juga dapat membuat orang untuk lebih memilih mengonsumsi beras merah dan beras hitam.
“Banyak hal yang perlu kita cermati terkait beras analog ini. Kemungkinannya amat sangat kecil beras analog bisa menggantikan beras biasa,” ujar Dwi seperti ditulis Antara.
Secara terpisah, Ketua Umum Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) Suharyo Husen dalam sejumlah kesempatan mengatakan berbagai inovasi, seperti beras analog singkong, harus diberikan insentif khusus. Hal itu sangat penting agar sejumlah kesulitan dalam pengembangan beras analog tersebut bisa diatasi dengan penelitian lanjutan.
“Inovasi masih perlu dilakukan sehingga produk beras analog bisa mendekati beras padi. Kalaupun harganya masih lebih mahal justru beras analog itu mempunyai spesifikasi dan keunggulan khusus,” kata Suharyo.
Di sisi lain, pemanfaatan singkong dan umbi-umbian lainnya tersebut diharapkan bisa memberikan nilai tambah bagi produsen singkong. Hal ini mengingat para petani yang memproduksi singkong minim perhatian dari pemerintah. Kondisi ini bisa dilihat dari impor produk olahan singkong yang terus meningkat setiap tahun dan fluktuasi harga yang begitu besar tetapi tidak menguntungkan petani. [KP-05]
kabarpangan.com // kabarpangan.id@gmail.com
Be the first to comment