Singkong Punya Nilai Strategis, Butuh Solusi Komprehensif dan Bukan Saling Tuding

MIRIP persoalan garam industri (bukan garam konsumsi). Pemerintah lantang berteriak stop impor tapi kebutuhan industri dalam negeri belum mencukupi sehingga ada sebagian harus diimpor. Ini juga terjadi pada tapioka Indonesia yang berdampak pada harga singkong.

Kisruh petani singkong dan pabrik tapioka di Lampung sudah memanas sejak awal Desember 2024 lalu. Pemicunya karena harga singkong lokal turun drastis. Belakangan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Wilayah II Lampung mengungkap ada impor tapioka mendorong anjloknya harga singkong lokal tersebut.

Sejak pertengahan 2024 lalu, DPN Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) sudah beberapa kali mendapat keluhan anjloknya harga singkong yang ditekan tapioka impor di beberapa sentra produksi. Pengrajin tapioka di Pati, Jawa Tengah, mengeluhkan beratnya usaha karena harga yang turun. Fluktuasi harga singkong ini biasanya terjadi berkala, terkait erat dengan pasokan tapioka. Ujungnya, petani dan pedagang singkong protes, dan pabrik tapioka merasa tidak ekonomis. Tapi konsumsi pangan berbasis tapioka dan industri olahannya harus tetap ada.

“Singkong ini unik dan punya dampak ekonomi yang besar, tapi belum ada perhatian khusus karena dianaktirikan dibanding padi, jagung, kedelai dan tanaman pangan lainnya. Inilah kenapa MSI konsisten sejak 15 tahun lalu memperjuangkan singkong sebagai komoditas strategis nasional,” ujar Sekjen DPN MSI Heri S, Kamis (23/1/2025).

Baca : Urgensi Singkong dan Perdagangan Tapioka dalam Menggerakkan Ekonomi Indonesia

Dikatakan, semua pihak harus melihat persoalan secara komprehensif. Jangan memahami singkong itu hanya dari sisi petani atau produksi saja. Demikian juga pabrik tapioka dan industri pengguna tapioka hingga konsumen pun harus memahami ada persoalan dihadapi petani.

Di tengah kekisruhan singkong, khususnya di Lampung, Heri mempertanyakan beberapa hal. Adakah yang memberi solusi betapa susahnya petani memproduksi singkong per ha dengan ketidakjelasan varietas dan harga pupuk nonsubsidi? Adakah aneka varietas unggul sebagaimana tanaman pangan lainnya? Mengapa subsidi pupuk dicabut sejak tahun 2022?

Lalu, adakah yang tahu bahwa tapioka di Thailand & Vietnam lebih murah karena biaya produksi rendah? Benarkah singkong di sana menjadi sangat STRATEGIS dengan berbagai kemewahan insentif dan subsidi? Kalaupun industri disalahkan, apakah ada pasokan tapioka lokal dengan harga bersaing? Jika pabrik harus bertanggung jawab, adakah sanksi dan kebijakan pemerintah selama ini yang mendorong industri besar terlibat supply-chain singkong nasional?

“Atau jangan-jangan ada ‘oknum’ yang menikmati fee impor sebagaimana diduga komoditas lainnya selama ini,” demikian pertanyaan dari Sekjen MSI yang juga alumnus IPB tersebut.

Selama tidak ada keberpihakan agar singkong menjadi strategis, selama itu pula gejolak yang terjadi sekarang akan tetap terjadi. Untuk itu bisa dimaklumi ribuan petani singkong demonstrasi bertubi-tubi dan pihak pabrik pun dengan terpaksa mengurangi aktivitasnya.

MSI: Tetapkan Singkong Sebagai Pangan Strategis Nasional

Baca : Prabowo Sebut Singkong untuk Swasembada Pangan, MSI: Jadikan Komoditas Strategis Nasional

Dalam sepekan ini, setidaknya sudah ada dua pabrik tapioka tutup berarti tidak menerima singkong dari petani lagi. Ini bisa menjadi bom waktu dengan masalah yang berkelanjutan.
Sepanjang 2024, data KPPU menyebutkan empat perusahaan di Lampung mengimpor 59.050 ton tepung tapioka dari Vietnam dan Thailand dengan nilai Rp 511,4 miliar yang diduga berdampak pada penurunan harga beli singkong lokal.

“Impor tersebut dilakukan grup pelaku usaha yang terbesar di Lampung dan pelabuhannya tidak di Pelabuhan Panjang, namun turun di Tanjung Priok, Tanjung Emas dan Tanjung Perak , sedangkan yang turun di Pelabuhan Panjang pada tahun 2024 bukan oleh group pelaku usaha terbesar,” ujar Kepala Kantor KPPU Wilayah II Lampung, Wahyu Bekti Anggoro seperti ditulis laman resmi lampungprov.go.id. Jumat (17/1/2025).

Menurut Wahyu, meningkatnya impor tersebut menjadi salah satu faktor berkontribusi terhadap rendahnya harga beli ubi kayu di Lampung. Kondisi ini juga memunculkan keluhan dari produsen tapioka lokal yang kesulitan bersaing harga dengan impor.

Koordinasi vs Macan Ompong
Menanggapi temuan KPPU, Pj. Gubernur Samsudin menegaskan pihaknya tidak mengizinkan impor tapioka masuk ke Lampung. Dia menyatakan akan menindak tegas dan memberikan sanksi kepada perusahaan yang terbukti impor tepung tapioka. “Kalau betul ada, kita lakukan tindakan tegas karena Pemprov tidak mengizinkan impor masuk khususnya tapioka ke Lampung. Soal sanksi kita lihat bukti dulu, kalau ada buktinya dan ada kenyataannya baru kita tindaklanjuti,” tegasnya, Minggu (19/1/2025).

Samsudin mengatakan segera berkoordinasi dan mengkaji hasil temuan lapangan kepada pihak berwenang. Pemprov akan menggandeng Kejaksaan Tinggi hingga Kepolisian ikut melakukan pengawasan. “Kami Pemprov Lampung akan mengajak kejaksaan tinggi dan kepolisian untuk mengawasi harga singkong di Lampung sesusai dengan ketentuan yaitu Rp. 1.400,” katanya seperti ditulis dalam laman Pemprov oleh Dinas Kominfotik Lampung.

Pemprov terus berupaya meningkatkan kesejahteraan petani dengan menaikkan harga dari Rp 900/kg menjadi Rp 1.400/kg yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. “Sudah ada SE Gubernur agar dipatuhi pabrik dalam membeli singkong kepada petani. Dan kita akan monitoring dan pengawasan ketat kepada pabrik agar patuh dan disiplin terhadap apa yang menjadi ketentuan Pemprov Lampung,” ujarnya.

Di sisi lain, harga tersebut cukup sulit bagi pabrik jika dengan kadar pati yang rendah. Kadar pati singkong petani rendah karena minim pupuk, panen terlalu cepat (belum 9 bulan) karena kebutuhan uang untuk urusan rumah tangga atau terlilit piutang. Pertanyaan lainnya, apakah serius kebijakan Pemprov tersebut dan benarkah sudah ada yang diberi sanksi terkait harga? Efektifkah koordinasi dengan kepolisian dan kejaksaan?

Sementara itu, DPRD Provinsi Lampung pun tengah membentuk Panitia Khusus Tata Niaga Siaga Singkong. Apakah penelusuran dan rekomendasi DPRD Lampung juga akan bernasib sama dengan Pemprov Lampung karena sifatnya hanya menghimbau atau karena tidak mempunyai kekuatan eksekusi? Jangan-jangan Pemprov dan DPRD Lampung pun tidak berdaya alias ‘macan ompong’ menghadapi group perusahaan besar yang ditengarai KPPU dalam awal tulisan ini

Kemarin, Jumat (24/1/2025), tiba-tiba Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman angkat suara terkait petani dan industri singkong di Lampung. Dan, akan menindak tegas importir singkong yang lebih memilih produk singkong dari luar daripada petani. Ini perlu diberi apresiasi, tetapi perlu solusi yang komprehensif. “Ini kami dengar di Lampung terkait harga singkong, kami akan undang, kami akan undang industri, undang petaninya. Kami minta kepada importir, tegas, jangan zalimi petani,” kata Amran di berbagai media nasional.

Dalam penelusuran KabarPangan.com yang sudah beberapa kali mengulas carut-marut singkong, sulit menemukan program atau kebijakan pemerintah yang berpihak pada singkong. Bisa dimaklumi karena sejak 2022 lalu, singkong tidak masuk kategori tanaman pangan prioritas alias tidak strategis.

Lalu, kalau Kementan akan memanggil pihak industri, apakah itu dalam ranahnya dan efektif, atau justru ada di Kementerian Perindustrian? Jika impor adalah kewenangan Kementerian Perdagangan, mungkinkah mengulangi lagi koordinasi “kilat” ketika merevisi kebijakan impor susu belum lama ini? Gerak cepat pemerintah saat itu perlu diapresiasi, meski harus didahului dengan aksi protes “mandi susu”. Semoga carut-marut singkong dan tapioka tercapai solusinya, tanpa ada ‘kericuhan’ lebih lanjut. [KP-03]. Comment: kabarpangan.id@gmail.com/081356564448

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*