Setelah Putusan MK, Masih Ada Pemahaman Keliru Soal Fidusia

Ilustrasi penegakkan hukum.
Ilustrasi penegakkan hukum.

Jakarta, Kabarpangan.com – Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memutuskan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF) pada pertengahan Januari 2020 lalu. Sejak putusan MK tersebut, pemahaman berbagai aspek tentang fidusia pun tidak utuh.
“Belum semua dipahami secara utuh tentang putusan MK terkait fidusia. Ini yang harus diperjelas sehingga tidak ada yang dirugikan, baik debitur, kreditur atau pihak terkait lainnya,” kata praktisi hukum Robertus Rani Lopiga di Jakarta, belum lama ini.

Secara umum, putusan MK tersebut sebenarnya memperjelas tata cara penarikan barang kredit yang dilandasi dengan kesepakatan bersama antara para pihak dalam jaminan fidusia. Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 juga tidak membatalkan ketentuan pasal 15 ayat (2) dan (3) dari UUJF tersebut.

“Putusan MK memperjelas dengan adanya kesepakatan cedera janji dari kedua pihak. Ini salah satu saja yang juga belum banyak dipahami,” ujar pengacara yang mendalami ilmu hukum di Universitas  Gadjah Mada (UGM) ini.

Lalu bagaimana kesepakatan yang melanggar cedera janji? Sejauh cidera janji yang dilanggar merupakan kesepakatan bersama maka eksekusi atas jaminan fidusia tetap bisa dilakukan oleh penerima fidusia. “Jadi proses eksekusi atas tagihan atau jaminan yang sudah disepakati bersama tetap bisa dilakukan karena ada cedera janji yang sudah disepakati bersama. Itu tidak mengurangi hak dari penerima fidusia,” jelasnya.

Sebelumnya, Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno menyebut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pelarangan penarikan barang kredit macet secara sepihak tidak serta merta membatasi pergerakan leasing.

Menurut Suwandi, putusan Sidang Pengucapan Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF) hanya memperjelas tata cara penarikan barang kredit.
“Eksekusi itu tetap boleh meski ada tapinya,” kata Suwandi belum lama ini.

Diketahui aturan yang dipersoalkan sehingga harus berproses di MK yakni Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4).

MK menyatakan tata cara penarikan barang kredit bermasalah oleh leasing tidak ada selama ini. Atas hal itu kerap muncul pemaksaan atau kekerasan dari debt collector atau pihak yang mengaku mendapat kuasa dari leasing untuk menagih pembayaran.

“Jika terjadi cedera janji atau wanprestasi, eksekusi jaminan fidusia tidak boleh dilakukan sendiri oleh penerima fidusia [kreditur], melainkan harus dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri,” tulis MK.

Suwandi mengatakan leasing tetap bisa melakukan eksekusi sendiri dengan memberi mandat kepada penagih hutang jika penunggak benar-benar dinyatakan gagal bayar atau wanprestasi. Selain itu bisa juga dilakukan jika nasabah penunggak terbukti cedera janji.

Menurut dia, seperti ditulis beberapa media, bila dua poin tersebut terpenuhi, tidak mungkin penunggak menolak kendaraannya ditarik secara sukarela. Oleh sebab itu eksekusi bisa dilakukan secara sendiri, tanpa pengadilan.

“Saat kredit kendaraan itu ada juga tandatangan jaminan fidusia. Maksudnya berjanji kalau nanti gagal bayar, bangkrut, itu tidak bisa bayar wanprestasi. Terus dikunjungi tapi tidak bayar juga, namanya cedera janji, kalau sudah gitu masa iya tidak mau sukarela menyerahkan,” ungkapnya. [KP-04]

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*