Jakarta, Kabarpangan.com – Meli Kalami sibuk mengolah tumbukan batang sagu di tengah hutan. Ini salah satu kegiatan rutin perempuan paruh baya warga Desa Malaumkarta dari Suku Moi Kelim di Papua Barat untuk mendapatkan pangan bagi keluarganya. Tumpukan sagu ditempatkannya di pelepah kering berukuran besar untuk diperas dan disaring sari patinya lalu diendapkan selama sekitar seminggu atau paling lama dua minggu.
Tidak perlu berjalan jauh mendapatkan air untuk memeras tumbukan pohon sagu, tinggal mengambil dari aliran parit kecil yang begitu jernih airnya tepat di bawah susunan batang kayu yang diinjaknya.
Mama Meli terlihat ceria, tertawa lepas di tengah hutan adat mereka bersama para bapak yang bertugas menebang dan menumbuk pohon sagu. Proses pekerjaan yang biasanya selama seminggu untuk mendapatkan tepung sagu di tengah rindangnya hutan menjadi pekerjaan menggembirakan.
Dalam sehari, setelah endapan sagu terkumpul, Mama Meli bisa membawa pulang dua noken besar berisi tepung sagu basah. Jumlah tersebut menjadi berkah yang mencukupi kebutuhan pangan pokok keluarganya setidaknya untuk sebulan ke depan. Masyarakat Adat Moi Kelim di Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat, tidak hanya memiliki sagu sebagai pangan pokok. Masih ada kasbi, pisang, talas yang menjadi sumber karbohidrat mereka.
Saat musim buah tiba, sumber vitamin berlimpah dari langsat, cempedak, durian, duku dapat mereka peroleh dengan mudah, hanya tinggal berjalan masuk ke hutan. Sayur-mayur pun mereka tanam, dari bunga dan daun pepaya, kangkung, daun gedi diolah menjadi masakan bergizi melengkapi papeda.
Tidak ada kekhawatiran, selama hutan terjaga, mereka tidak perlu resah. Untuk protein, adalah ulat sagu atau jamur yang tumbuh di antara ampas tumbukan sagu yang sudah dibuang saat memproses tepung sagu. Jika masuk lebih jauh ke dalam hutan untuk berburu, adalah babi dan rusa sebagai tambahan protein. Di pesisir, dengan alat dan cara tradisional, ikan cukup berlimpah. Perlu kehati-hatian agar tidak melanggar Egek (kearifan lokal untuk konservasi di terestrial dan perairan Suku Moi Kelim) yang sudah disepakati secara adat.
Apa yang tidak ada bagi warga Suku Moi? Makanan sebagai sumber karbohidrat dari sagu, kasbi, pisang, dan talas sangat banyak. Lobster, loka, teripang, udang bambu, kerang batik, udang pasir ada di perairan Malaumkarta. Bahkan ada spesies penyu bertelur di pantai Malaumkarta dan Pulau Um yang masih menjadi bagian dari wilayah desa tersebut, dugong pun nyaman dengan lamun yang tumbuh di pesisir sana.
Egek sebagai kearifan lokal konservasi perairan Suku Moi Kelim telah melestarikan keberagaman spesies di perairan Malaumkarta. Pelanggar Egek berhadapan dengan sanksi hingga ratusan juta rupiah yang diputuskan melalui musyawarah adat di sana. Egek laksana Sasi yang akrab di masyarakat timur Indonesia. Suku Moi Kelim di Malaumkarta sepakat tidak mengambil loka kecil dengan ukuran di bawah 20 sentimeter (cm), mereka juga tidak menangkap lobster dan teripang selama setahun penuh.
“Hasilnya, melimpah. Terakhir (2018), saat Egek dibuka, dapat mengumpulkan hingga Rp 200 juta dan semua hasilnya untuk gereja,” kata Ketua Bamus Malaumkarta Eferadus Kalami.
Saat sakit, seperti dilaporkan Antara, lari pula mereka ke dalam hutan. Malaria takut dengan tanaman tali kuning yang tumbuh di hutan, sementara saat sekujur tubuh terasa pegal mereka mengambil daun gatal untuk diusapkan di kulitnya.
Masih banyak tumbuhan lain yang tetap mereka gunakan untuk sekedar menjaga kesehatan maupun menyembuhkan sakit mereka. Dan itu belum tercantum dalam ilmu etnobotani manapun, tersimpan rapi dalam kearifan lokal Masyarakat Adat Moi Kelim.
Kepala Kampung Malaumkarta Jefri Mobalen mengatakan pamali itu ada dalam Masyarakat Adat Moi Kelim. Hutan keramat mereka tertutup untuk aktivitas apapun, alhasil kayu merbau di sana besar-besar sekali ukurannya. Warga Malaumkarta juga tidak pernah ada yang memotong pohon untuk diperjualbelikan kayunya. Itu diatur melalui musyawarah kampung. Ini membuat hutan mereka tebal dan hijau dengan sumber air yang terjaga. Kekuatan air ini yang sekarang membantu menerangi rumah-rumah warga di sana melalui teknologi mikrohidro seharga Rp 1,2 miliar yang dibeli dengan Dana Desa dari dua kampung yang bertetangga, Malaumkarta dan Suartolo.
Kini tidak perlu lagi mereka menunggu Perusahaan Listrik Negara (PLN) hadir karena listrik bersih berkapasitas 50 kVA sudah mengalir ke rumah-rumah warga di dua kampung. Mereka hanya perlu membayar iuran Rp 10.000 per bulan sebagai dana perawatan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMh). [KP-06]
kabarpangan.com // kabarpangan.id@gmail.com
Be the first to comment