Mengatasi Dampak Erupsi Lewotobi pada Sektor Pertanian

Ilustrasi erupsi Gunung Lewotobi (Ist)

Oleh: Maurinus W. Gili Tibo, S.Pt.,M.Si
(Perencana Ahli Madya, Dinas Pertanian Kabupaten Sikka, NTT)


LETUSAN Gunung Lewotobi di Desa Nawokote, Kecamatan Ile Bura, Kabupaten Flores Timur pada 04 November 2024 dini hari lalu merupakan peristiwa alam vulkanik. Dalam ilmu vulkanologi, letusan disertai muntahan lava pijar dan bebatuan panas merupakan akumulasi dari proses erupsi yang sudah berlangsung beberapa lama. Sejak Januari 2024 lalu, Gunung Lewotobi sudah mengalami proses erupsi sebanyak 872 kali. Erupsi berupa abu vulkanik mencapai ketinggian 2.500 meter dan cenderung bergerak ke arah barat.

Pergerakkan abu vulkanik ini memberi dampak luas terhadap sejumlah aktivitas. Salah satunya, operasional bandara Frans Seda di Maumere, Kabupaten Sikka, terhenti. Bandara ini terletak 85 km arah barat Gunung Lewotobi. Berhenti beroperasi sejak 17 Juli 2024 karena ruang udara Bandara Frans Seda dipenuhi partikel abu vulkanik. Jika partikel ini tersedot maka mesin pesawat bisa berhenti mendadak dan mengalami kerusakan. Inilah penyebab maskapai penerbangan yang beroperasi di Bandara Frans Seda menghentikan seluruh operasional penerbangan.

Selain pada sektor transportasi udara, juga berdampak pada sektor pertanian. Untuk wilayah Kabupaten Sikka, tercatat ada 4 (empat) kecamatan yang terdampak langsung letusan Gunung Lewotobi. Keempat kecamatan ini relatif dekat di perbatasan dengan Kabupaten Flores Timur. Kecamatan dimaksud adalah Talibura, Mapitara, Waiblama, dan Waigete.
Tabel di bawah menunjukkan luas lahan komoditi yang terdampak letusan gunung Lewotobi.

Dari data di atas memperlihatkan dampak letusan Lewotobi menghasilkan kerusakan sistemik terhadap sebagian besar areal tanaman perkebunan milik warga. Terkait dengan ini, mengakibatkan dampak turunan kepada ekonomi warga terganggu karena hasil perkebunan menopang kehidupan warga selama ini. Agar tidak dibiarkan berlarut, pemerintah perlu mengambil kebijakan penanganan pascabencana baik jangka pendek maupun jangka panjang. Penanganan jangka panjang, Pemerintah Kabupaten Sikka segera melakukan koordinasi dengan Pemerintah Provinsi NTT dan Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Pertanian di Jakarta.
Tanaman yang rusak dan berpotensi tidak bisa berproduksi lagi, disediakan bibitnya oleh pemerintah dan didistribusikan sepenuhnya kepada petani terdampak untuk penanaman kembali. Nama petani dan lokasinya, menjadi kewenangan Dinas Pertanian Kabupaten Sikka untuk mendata. Strategi jangka pendek penanganan pascabencana lebih difokuskan kepada tanaman pangan dan hortikultura serta tanaman semusim lainnya yang masa produksinya relatif lebih cepat.

Kematian Ternak
Lain tanaman, lain pula hewan. Penanganan terhadap hewan khususnya ternak yang terdampak letusan Lewotobi juga menggunakan strategi jangka panjang dan jangka pendek. Penanganan jangka panjang dengan pendataan dan pemetaan terhadap luasan terdampak meliputi kebun Hijauan Pakan Ternak (HPT), padang penggembalaan, dan jumlah kematian ternak akibat terkena dampak letusan. Pendataan ini melibatkan petani, dokter hewan, paramedis kesehatan hewan, dan petugas penyuluh pertanian setempat lalu melaporkannya secara berjenjang sesuai kewenangannya. Strategi jangka pendek dalam situasi tanggap darurat yang perlu tindakan segera meliputi bantuan pakan ternak dan obat-obatan terhadap ternak yang sakit.
Berikut data inventarisir kematian ternak akibat letusan gunung Lewotobi.

Kebanyakan ternak yang mati akibat paparan langsung erupsi berupa abu panas, material vulkanik berupa batu pijar dan aliran lava. Dilaporkan juga sebagian ternak mati karena mengkonsumsi pakan ternak yang tertutup debu vulkanik yang berakibat diare berkepanjangan dan akhirnya menyebabkan kematian. Ada indikasi beberapa ekor ternak babi yang mengalami kematian juga menunjukkan gejala penyakit African Swine Fever (ASF), Hog Cholera, ND, dan gangguan pernapasan. Mungkin ini akibat paparan debu vulkanik dengan jangkauan sporadis.

Tindak Lanjut
Penanganan ternak yang mati selain dikuburkan masal, ada juga eradikasi (pembakaran) terhadap ternak yang mati bukan karena dampak letusan tetapi akibat penyakit penyerta. Ternak yang sehat dilakukan upaya evakuasi ke tempat aman dan mendapat perawatan sebagaimana mestinya. Kondisi ini tidak saja menjadi pergumulan Pemerintah Daerah Kabupaten Sikka semata namun juga harus ada intervensi Pemerintah Provinsi NTT dan Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pertanian. Bencana bukan akhir dari segalanya. Perlu regenerasi kembali terhadap tanaman perkebunan yang rusak pascabencana dan meningkatkan kembali jumlah populasi ternak. [KP]

Baca : Kampung Cireundeu-Cimahi, Seabad Tanpa Nasi dan Hidup Bersama Singkong

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*