Mengapa Pedagang Pasar Pernah Memprotes Aplikasi Etanee?

CEO Etanee Cecep M Wahyudin saat memberikan penjelasan pada Rapat Kerja Kemdag 2018 di Jakarta, Rabu (31/1).

Bogor, KP – Bukan saja industri ritel modern, ancaman teknologi digital juga sempat dirasakan para pedagang tradisional. Namun, kehadiran teknologi tersebut harus disinergikan agar berdampak positip bagi semua pihak, termasuk aktifitas ekonomi masyarakat di pasar tradisional. Hal inilah yang dibuktikan melalui aplikasi digital Etanee Food Marketplace yang mengimplementasikan digitalisasi pasar rakyat di Cipanas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

“Kekhawatiran tergerusnya aktifitas ekonomi rakyat, termasuk pasar tradisional, sudah bisa diatasi dengan sistem dan aplikasi Etanee Food Marketplace,” kata CEO Etanee Cecep M Wahyudin ketika menjelaskan model bisnis aplikasi tersebut dalam Rapat Kerja Kementerian Perdagangan 2018 di Jakarta, Rabu (31/1).

Namun, ujarnya, terobosan yang inovatif tersebut tidak langsung direspons baik oleh para pedagang pasar. Sebaliknya, jajaran pengelola dan kantor Etanee Food Marketplace mendapat protes dan didemo oleh ratusan pedagang pasar tradisional di Cipanas. Mengapa?

Rupanya protes yang disampaikan secara langsung pada pertengahan Januari 2018 lalu itu karena pedagang merasa harga jual ayam melalui aplikasi Etanee sekitar Rp 32.000 per kilogram (kg) tidak wajar. “Kami protes karena kami jual dengan harga Rp 38.000 per kg, tetapi Etanee jual lebih murah. Dengan harga ayam tinggi sejak dua bulan lalu, kami heran jika Etanee jual jauh di bawah kami,” tegas Rudi Lazuardi yang juga Sekjen Asosiasi Pedagang Daging Ayam dan Sapi (Appdas) Kabupaten Cianjur.

Saat itu, Rudy bersama ratusan anggota Appdas lainnya memang kewalahan karena harga ayam yang dibeli sangat tinggi. Hal itu menyebabkan para pedagang pun terpaksa menaikkan harga jualnya kepada konsumen.

(Baca : Etanee Tawarkan Rp 31.000/Kg, Pedagang Daging Ayam Tak Perlu Mogok)

Cecep mengakui para pedagang akhirnya memahami ketika diberikan penjelasan terkait cara kerja Etanee Food Marketplace. Selain itu, dijelaskan juga tentang rantai pasok dan distribusi ayam dari produsen hingga konsumen. Hal itu mengingat Etanee Food Marketplace merupakan sistem terintegrasi dari produksi hingga distribusi. Jadi, dengan keuntungan pedagang sekitar 10%-15% maka ayam bisa dijual dengan harga yang stabil.

“Pedagang akhirnya paham bahwa Etanee itu tidak menjual untuk rugi tetapi dengan porsi keuntungan masing-masing yang sudah sesuai. Jadi, saya katakan bahwa salah jika mendemo Etanee, lebih baik bergabung dan membangun kerja sama untuk menjual dengan harga yang wajar,” katanya.

(Baca : Sepakat Ayam Rp 33.000 per Kg, Satgas Pantau Perkembangan Harga)

Menurut Cecep, digitalisasi pasar tradisional merupakan terobosan untuk mendukung akses pasar lebih luas bagi para pedagang pasar tradisional. Untuk itu, digitalisasi pasar yang sudah berhasil di Cipanas seharusnya diimplementasikan kepada seluruh pasar tradisional lainnya di Indonesia. Sekaligus, menjadi momentum untuk pertumbuhan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan kesinambungan eksistensi pasar tradisional.

Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemdag Tjahya Widayanti memberikan apresiasi atas implementasi ekonomi digital melalui Etanee Food Marketplace yang mendorong stabilisasi harga dan pasokan. Pendekatan digitalisasi pasar rakyat itu perlu diperluas karena menghubungkan pedagang-pembeli (supply-demand) walaupun jaraknya berjauhan sehingga konsumen mendapatkan kepastian harga. [KP-02]

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*