Jadi PSN, Program Lumbung Pangan Merauke Berpotensi Rusak Lingkungan

JAKARTA, KP – Program lumbung pangan nasional 1 juta hektar (ha) sawah di Merauke, Papua Selatan, merupakan program strategis nasional (PSN) dan bukan investasi proyek swasta. Namun, pengembangan program itu berpotensi melanggar hak adat dan merusak lingkungan.

“Pembangunan 1 juta hektar sawah di Merauke adalah program strategis nasional dan bukan merupakan investasi atau proyek swasta karena semua dibiayai dan dikerjakan atas nama negara,” kata Komandan Satgas BKO Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Mayjen TNI Ahmad Rizal Ramdhani saat mengunjungi Kampung Wogikel dan Kampung Wanam, Distrik Wanam, Merauke, sebagaimana keterangannya di Jakarta, Jumat.

Rizal mengatakan PSN pembangunan 1 juta hektar sawah murni untuk menyejahterakan masyarakat pedalaman Papua khususnya di Merauke, Papua Selatan. Program tersebut akan berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat. Sejalan dengan itu, terbangun infrastruktur jalan dan jembatan, serta fasilitas umum dan sosial dari tingkat kampung sampai kabupaten.

Pertemuan bersama masyarakat Kampung Wogikel dan Kampung Wanam dihadiri juga Sekretaris Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan RI, Hermanto, Kakesbangpol Kabupaten Merauke Rahmadayanto, pimpinan lembaga masyarakat adat (LMA) serta sejumlah tokoh adat lainnya.

Sementara itu, berdasarkan analisis tumpang susun dan pemantauan lapangan, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (PUSAKA) menyatakan, lokasi proyek strategis nasional tersebut berada di kawasan hutan adat, di mana terdapat makam keramat, jalur leluhur, dusun pangan, dan tempat berburu. Area yang ada di distrik Ilwayab, Ngguti, Kaptel, dan Muting ini juga memiliki nilai konservasi tinggi, dan di dalamnya ada areal konservasi tradisional.

Analisis PUSAKA itu sesuai peta lampiran Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor 835 Tahun 2024, peta kawasan hutan, peta administrasi dan peta tempat penting masyarakat adat di Merauke (WWF, 2006), serta laporan warga.

Pusaka mengungkapkan perwakilan marga pemilik tanah di Distrik Ilwayab, Marga Gebze Moyuend dan Gebze Dinaulik, menginformasikan bahwa tanah, dusun, dan hutan adat, sumber kehidupan mereka telah digusur oleh perusahaan dan dikawal anggota TNI bersenjata, yang dilakukan tanpa ada musyawarah dan mufakat dengan masyarakat adat setempat.

“Proyek ini melanggar hak hidup, hak masyarakat adat dan merusak lingkungan hidup sebagaimana terkandung dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan, serta prinsip FPIC (Free Prior Informed Consent). Bahwa sebelum proyek dimulai maka terlebih dahulu masyarakat diberikan dan mendapat informasi proyek pembangunan yang akan berlangsung di wilayah adat mereka, serta diberikan kebebasan berunding membuat keputusan apakah menerima atau justeru menolak proyek. Hal ini tidak dilakukan pemerintah pengembang proyek dan perusahaan,” kata Franky Samperante, Direktur Pusaka. [KP-02]

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*