Harga Beli Jagung Petani Idealnya Rp 3.500/Kg

Ilustrasi panen jagung.

Jakarta – Asosiasi Petani Jagung Indonesia (APJI) menyatakan bahwa harga acuan pembelian jagung di tingkat petani idealnya di kisaran Rp 3.500-3.600 per kilogram (kg). Pasalnya, dalam 2-3 bulan terakhir harga jagung petani dengan kadar air kurang dari 17% sudah mencapai Rp 3.500-3.600 per kg. Sementara dalam regulasi yang dibuat pemerintah, harga acuan pembelian jagung di tingkat petani dengan kadar air 15% ditetapkan Rp 3.150 per kg.

Ketua APJI Sholahuddin mengatakan, dengan proses pengeringan sempurna, kadar air jagung di tingkat petani bisa ditekan hingga 14% dan dapat dikategorikan sebagai jagung dengan kualitas paling bagus. Saat ini, biaya produksi untuk setiap kg jagung memang masih di kisaran Rp 2.400-2.600, namun dengan harga jagung di lapangan yang mencapai Rp 3.500-3.600 per kg bukan berarti petani bisa mengambil keuntungan besar. “Idealnya memang Rp 3.500-3.600 per kg untuk harga di tingkat petani. Tapi jangan dianggap petani menikmati untung besar, sebab kepemilikan lahan petani itu hanya 0,25-0,50 hektare (ha),” kata Sholahuddin di Jakarta, baru-baru ini.

Sholahuddin mengungkapkan hal tersebut usai penandatanganan nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) antara Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) dengan PT Charoen Pokphand Indonesia (Charoen). Nota kesepahaman itu menandai kerja sama kedua pihak untuk keterjaminan penyerapan jagung produksi petani lokal. Bersamaan dengan itu, Charoen menyerahkan 1 unit mobil pengering jagung (mobile corn dyer) kepada Kementerian Pertanian (Kemtan) yang selanjutnya diperbanyak dan diserahkan kepada petani KTNA.

Turut hadir dalam penandatangan MoU tersebut adalah Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementan I Ketut Diarmita, Presiden Komisaris Charoen Hadi Gunawan T, Ketua Umum KTNA Winarno Tohir, dan Ketua Umum Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) Desianto B Utomo.

Menurut Sholahuddin, dengan keterbatasan lahan maka petani tidak akan memperoleh keuntungan dalam jumlah besar sekalipun harga jagung di lapangan relatif tinggi. “Kalaupun ada penjualan petani sampai Rp 10 juta per ha, itu harus dibagi enam bulan. Kalau petani hanya punya lahan 0,25-0,50 ha berarti masih dibagi empat. Itulah yang dimiliki petani untuk setiap bulannya,” ujar dia, seperti ditulis ID.
Permendag No 58 Tahun 2017 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen menetapkan, harga jagung di tingkat petani sebesar Rp 3.150 per kg untuk kadar air 15%. Lalu, sebesar Rp 3.050 per kg untuk kadar air 20%, Rp 2.850 per kg untuk kadar air 25%, Rp 2.750 per kg untuk kadar air 30%, dan Rp 2.500 per kg untuk kadar air 35%.

Sholahuddin mengatakan, penggunaan mobil pengering jagung akan mampu menekan biaya operasional petani, sebab alat tersebut dapat bergerak mendekati petani di sumber produksi. Dengan begitu, jagung produksi petani dapat dikeringkan tepat waktu dan menghasilkan kualitas bagus dan pasti diserap pasar. Perbaikan kualitas tersebut tidak akan menimbulkan ekuilibrium harga baru untuk jagung. “Harga akan tetap stabil meski menggunakan mobile corn dryer. Ini hanya sebagai solusi bagi petani agar kualitasnya terjaga. Kalau (jagung) rusak, tidak laku (dijual),” jelas dia.

Dengan mobil pengering, jagung yang bisa dikeringkan mencapai 1 ton setiap jamnya. Biaya operasional untuk pengeringan alami saat ini sekitar Rp 300 per kg pada saat musim hujan dan biasanya membutuhkan waktu sampai empat hari. Dengan pengeringan alami saat musim kering seperti sekarang, biaya bisa ditekan menjadi sekitar Rp 90-100 per kg dan biasanya hanya butuh waktu dua hari. “Bayangkan kalau ada produksi petani 3 ton, hanya 3 jam. Kalau dikeringkan alami, saat musim hujan bisa sampai empat hari, tergantung luasan ubinnya,” kata Sholahuddin.

Dengan adanya bantuan mobil pengering jagung, petani tinggal mengatur giliran pemakaian. Dalam hitungan APJI, dengan prototipe mobil pengering tersebut maka biaya operasional sekitar Rp 200 per kg. “Untuk biaya pemakaian mobil pengering ini akan menjadi tanggungan petani. Kalau mengeringkan secara alami petani juga mengeluarkan biaya sendiri,” kata dia.

Sementara itu, Winarno menambahkan, mobile corn dryer dirancang dengan kapasitas petani sehingga menguntungkan dan memudahkan bagi petani. Karena kapasitasnya besar maka untuk sampai pada skala industri harus menunggu sampai jumlahnya lebih banyak. “Dengan mobile corn dryer ini, ibaratnya menjemput bola. Mendekatkan fasilitas mesin pengering ke petani jagung. Selanjutnya, kami akan melakukan pengaturan tanam, supaya nanti panennya bergiliran. Dengan begitu, pemakaian mobil pengering ini juga bisa saling bergantian,” kata Winarno.

CSR Perusahaan
Sementara itu, Diarmita mengatakan, mobile corn dryer akan menghemat biaya transportasi petani dari lokasi produksi jagung ke lokasi mesin pengering, meminimalkan jagung tercecer, serta meminimalkan terjadinya kontaminasi aflatoksin yang berbahaya bagi unggas. Harga di tingkat petani juga akan lebih baik, sehingga pendapatan petani meningkat dan kesejahteraan petani jagung membaik.

“Adanya kesepahaman dengan KTNA ini, ada jaminan pasar bagi petani dan jaminan kualitas jagung petani. Segera, kami akan drop (pasok) mesin ini supaya petani terlayani dengan baik. Target awal menyasar tiga lokasi di Lampung, Gorontalo, dan NTB,” kata Diarmita. Terkait biaya, kata Diarmita, selain alokasi APBN Kementan, pihaknya juga akan mendorong peran serta perusahaan, termasuk dengan dana pertanggung jawaban sosial (CSR) perusahaan.

Menurut Hadi Gunawan, biaya 1 unit prototipe mobile corn dryer tersebut sekitar Rp 1,20 miliar. Prototipe mobile corn dryer tersebut merupakan kreasi tim engineering Charoen Pokphand dengan didukung Badan Pengembangan Mekanisasi Pertanian. Selanjutnya, prototipe itu akan diuji coba di lapangan di Lampung. Prototipe itu diserahkan kepada Kementan untuk pengembangan lanjut.

Dia menjelaskan, fasilitas tersebut berawal dari kerja sama Charoen Pokphand dengan Kemtan yang berupaya mengembangkan fasilitas pengeringan jagung dengan konsep bergerak mendekati lokasi petani. Hal itu sebagai solusi untuk mempertahankan swasembada jagung nasional yang berkelanjutan. “Ini merupakan misi menjemput bola. Dengan fasilitas ini, akan memudahkan petani, terutama yang jauh dari fasilitas pengeringan dan industri pakan, sehingga akan mengurangi biaya handling dan transportasi yang timbul,” kata Gunawan. [KP-04]

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*