MAKASSAR, KP – Kantor Perwakilan Bank Indonesia provinsi Sulawesi Selatan (BI Sulsel) mendorong pengembalian kejayaan kakao di Sulawesi Selatan dan sekitarnya.
“Sulawesi Selatan adalah salah satu sentra produksi terbesar untuk kakao di wilayah Sulawesi perlu didorong untuk jadi komoditi primadona kembali,” kata Kepala Perwakilan BI Sulsel Rizki Ernadi Wimanda di Makassar, Jumat (16/5/2025).
Dia menegaskan, kakao menjadi salah satu komoditas unggulan di Sulsel yang produksinya harus digenjot kembali, mengingat tanaman kakao sudah berumur 20 – 30 tahun. Untuk itu, sejumlah varietas kakao telah dikembangkan di antaranya Sulawesi 1, 2, dan 3. “Pemerintah akan mendukung kakao ke depan untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan memberikan nilai tambah,” ujarnya.
Namun, tantangan saat ini adalah pohon kakao sudah berusia tua, sehingga perlu peremajaan dengan varietas unggulan. Untuk peremajaan, perlu ada insentif agar petani tetap menerima pendapatan selama masa transisi, seperti bantuan benih jagung atau komoditas lain. Sebanyak 65 persen dari 120 ribu ton rata-rata produksi kakao di Sulsel berasal dari Luwu Raya, yang memiliki kondisi tanah dan iklim yang mendukung budidaya kakao.
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong industri perbankan di Sulawesi Selatan (Sulsel) mulai memfokuskan pembiayaan atau penyaluran kreditnya ke sektor pertanian, khususnya pemangku kepentingan ekosistem kakao.
Kepala Kantor OJK Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat Moch Muchlasin mengatakan pihaknya segera mengajak perbankan di Sulsel melakukan identifikasi lapangan. Dari identifikasi tersebut, perbankan diarahkan segera menentukan kriteria dan syarat yang perlu dilengkapi oleh para pelaku kakao agar bisa diberikan pembiayaan. Setelah itu pada pertengahan tahun ini, bank-bank tersebut ditargetkan menentukan sasaran masing-masing, baik dari sisi kriteria maupun jumlah pembiayaannya.
Muchlasin berharap, sebagian dari pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) maupun Kredit Usaha Rakyat (KUR) nantinya bisa dikhususkan untuk para pelaku kakao.
Secara terpisah, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Sulawesi Bagian Selatan (Kanwil DJBC Sulbagsel) Djaka Kusumartata mengatakan komoditas kakao terus memberi pengaruh pada penerimaan devisa ekspor Sulsel. Pada kuartal I/2025, komoditas ini memang hanya memberi cakupan 6,6% dari total devisa ekspor Sulsel yang mencapai US$390 juta, namun angkanya meningkat 100% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
“Kakao juga tercatat menjadi komoditas utama yang memberi pengaruh pada realisasi bea keluar Sulsel yang mencapai Rp13,89 miliar di kuartal pertama tahun ini, yang tumbuh 67,91%,” tuturnya.
Multiklonal
Sementara itu, PT Mars Symbioscience Indonesia menawarkan solusi pengembangan kakao yang menurun hingga 8,3% per tahun pada rentang 2015-2023. Padahal, harga kakao per Juni 2024 telah tercatat menyentuh US$7.825 per ton, jauh lebih tinggi dibandingkan 2022 yang hanya di kisaran US$2.000 per ton.
Indonesia Corporate Affairs Director Mars Jeffrey Haribowo mengatakan saat ini 99,63% kakao lokal diproduksi petani kecil. Sementara perkebunan swasta hanya meliputi 0,35% dan sisanya milik negara. Dari total perkebunan kecil milik rakyat, produktivitasnya diketahui sangat rendah sekitar 200 kilogram per hektare per tahun. Kualitas bijinya pun terdata banyak yang tidak memenuhi standar.
Petani kakao di Indonesia, utamanya di Sulawesi sebagai penghasil terbesar se-Indonesia, menghadapi berbagai tantangan seperti pohon yang menua serta meningkatnya serangan hama dan penyakit termasuk cocoa pod borer atau penggerek buah kakao dan black pod disease atau penyakit busuk buah hitam. Tantangan pertanian lainnya juga memperburuk kondisi ini, seperti penurunan kesehatan tanah, manajemen lahan yang kurang efektif, perubahan iklim, terbatasnya akses bibit unggul, dan pembiayaan.
Selain itu, riset kakao masih terbatas dan transfer teknologi yang belum optimal sehingga produktivitas rendah, bahkan hanya mencapai sepersepuluh dari potensi maksimalnya. Meski terus menurun, Indonesia tetap menjadi negara dengan kapasitas penggilingan kakao terbesar ketiga secara global. Ini membuat kebutuhan kakao dalam negeri berkurang, bahkan menjadikan Indonesia alami ketergantungan impor biji kakao dari Afrika dan Amerika Latin.
“Padahal negara ini berpotensi mengembangkan kakao dari Sabang sampai Merauke dengan produksi biji kakao berkualitas premium. Cukup disayangkan karena produksinya malah kian berkurang,” ucap Jeffrey, Rabu (14/5/2025), kepada sejumlah media.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, belum lama ini Mars meresmikan Cocoa Advanced Research Laboratory (CARL) di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan (Sulsel). CARL adalah sebuah laboratorium yang akan berperan dalam penelitian pertanian dan pengembangan teknologi guna mendukung petani kakao di Indonesia. Salah satu temuan penting dari penelitian Mars adalah metode peralihan dari sistem pertanian monoklonal (satu klon) ke multiklonal (beragam klon).
Jeffrey menjelaskan banyak petani kakao di Sulawesi selama ini hanya menanam satu jenis klon unggul yang tidak dapat melakukan penyerbukan sejenis, sehingga menyebabkan produktivitas yang rendah. Riset Mars menunjukkan penggunaan beberapa jenis klon kakao unggul yang kompatibel dapat meningkatkan produktivitas hingga 50%.
“Praktik multiklonal bertujuan mengoptimalkan hasil panen kakao dengan memastikan kompatibilitas genetik antarklon. Setidaknya tiga klon yang kompatibel dan maksimal 60% dari klon ini harus disebar secara merata serta ditanam berdekatan agar proses penyerbukan terjadi secara optimal,” papar dia.
Selain itu, Mars juga mendorong praktik agroforestri kakao yang lebih beragam, yang dapat membantu meningkatkan ketahanan lahan dan produktivitas sekaligus memberikan pendapatan yang lebih stabil bagi petani. Dengan berbagai jenis tanaman di sekitar pohon kakao, petani dapat lebih terlindungi dari fluktuasi harga komoditas dan musim panen yang rendah. Pendekatan ini juga dapat membantu mengurangi dampak cuaca ekstrem, seperti kekeringan dan curah hujan tinggi dengan memanfaatkan tanaman dengan toleransi berbeda terhadap kondisi lingkungan. [PR/SP/KP/BM/AF]