Bangkit, Jadi Bangsa Tangguh Dengan Pendidikan Kewarganegaraan

Sekjen PKB Hasannudin Wahid
Sekjen PKB Hasannudin Wahid. (Ist)

Kita adalah bangsa yang penuh harap dan selalu optimistis. Makanya, kendati diterpa badai pandemi Covid-19, kita bergeming memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), Kamis 20 Mei 2021, dengan penuh hikmat. Bahkan menggaungkan peringatan Hardiknas ke-133 dengan seruan “Bangkit! Kita Bangsa yang Tangguh!”

Sikap optimistis adalah bukti nyata bahwa api semangat juang yang dikumandangkan Boedi Oetomo pada 1908 silam masih berkobar dalam diri kita sebagai sebuah bangsa. Yang membanggakan, Hardiknas kali ini ditandai dengan peluncuran Program Literasi Digital Nasional bertajuk ‘Indonesia Makin Cakap Digital’.
Pertanyaan yang mengemuka, bagaimanakah cara menanamkan semangat juang penuh harapan dan optimistis itu kepada generasi muda? Langkah apa yang mesti diambil untuk selalu mengobarkan api perjuangan di dalam dada para siswa sekolah?


Menurut penulis, salah satu cara yang efektif adalah melalui pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan kewarganegaraan dapat diartikan sebagai mendidik anak sejak usia dini hingga menjadi warga negara yang berpikiran jernih dan tercerahkan serta mampu berpartisipasi.
‘Masyarakat’ di sini dipahami dalam arti khusus sebuah bangsa dengan wilayah terbatas sebagai negara. Dalam pengertian ini, pendidikan kewarganegaraan didasarkan pada perbedaan antara individu sebagai subjek etika dan hukum, yang memiliki hak asasi manusia. Pendidikan kewarganegaraan membahas seluk beluk kehidupan warga negara yang memiliki hak sipil dan politik yang diatur oleh konstitusi negara.

Dalam konteks itu, pria, wanita dan anak-anak semuanya datang ke dunia sebagai manusia memiliki harkat dan martabat yang sama. Oleh karena itu, sepantasnya kita berterima kasih kepada Boedi Oetomo bersama para perintis dan pejuang kebangsaan lainnya, yang telah memperjuangkan hak asasi manusia Indonesia sehingga menjadi setara dan semartabat dengan semua bangsa-bangsa lain di dunia.

Masyarakat Abad ke-21
Sebagaimana diketahui, kehidupan umat manusia pada abad ke-21 ini, ditandai oleh semangat kebebasan berpendapat dan demokrasi. Mempersiapkan generasi muda memasuki era yang mengagungkan kebebasan berpendapat dan demokrasi sekolah melalui pendidikan kewarganegaraan perlu membiasakan para siswa untuk mengembangkan kebiasaan berpikir kritis, inovatif dan kreatif. Selain itu setiap anak juga perlu dibantu untuk memahami secara komprehensif, perihal prinsip-prinsip demokrasi, termasuk hak-ahak asasi manusia dan perihal kewajiban selaku warga negara.

Melalui pendidikan kewarganegaraan, sekolah perlu melatih setiap siswa untuk bertumbuh menjadi warga negara yang ‘baik’, yaitu sadar dan peduli akan berbagai masalah kemanusiaan di sekitarnya. Supaya memiliki kepedulian sosial, siswa perlu dilatih untuk mengakui bahwa semua manusia setara dan semartabat.
Arus mobilitas populasi dunia yang semakin deras dan berkembangnya masyarakat multikultural adalah ciri khas lain kehidupan di abad ke-21 ini. Menyiapkan generasi muda memasuki kehidupan yang demikian, sekolah harus berani melayani anak-anak dari latar belakang sosial-budaya yang berbeda. Multikultur atau budaya yang heterogenitas harus dianggap sebagai kesempatan untuk pendidikan kewarganegaraan.

Dalam situasi ini, semua anak dilatih menghormati dan memahami budaya yang dihayati orang lain. Tanpa mengaburkan atau menyepelekan keragaman ras, suku, agama dan budaya para siswa, sekolah melalui pendidikan kewarganegaraan hendaknya membiasakan anak-anak mau bergaul dengan orang yang berbeda warna kulit, cara berpakaian, cara berbahasa, dan cara berdoa/beribadah.

Pendidikan kewarganegaraan adalah forum yang ideal untuk memerangi sikap intoleran dan diskriminatif, baik karena suku, ras, gender, agama, maupun gologan. Biasanya, rasisme dan sikap tidak toleran sering disebabkan ketidaktahuan anak-anak yang dibesarkan secara ekslusif, dalam lingkugan budaya dan kelompok sosial yang tertutup.

Ciri khas yang juga menonjol dari kehidupan di abad ke-21 adalah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), khususnya teknologi yang begitu pesat. Dalam era digital, individu dan masyarakat dapat berinteraksi dan berkomukasi secara mudah dan online, dengan siapa pun dan di manapun. Dari sisi positif, teknologi digital memungkinkan individu/masyarakat melakukan segala sesuatu secara cepat, termasuk dari jarak yang jauh. Manusia bisa berbagi perasaan/bersimpati dan bersolider serta mengorganisir siapapun untuk saling membantu dengan sangat cepat. Namun, teknologi digital juga membuat ruang digital lebih mudah terpolusi oleh berita bohong (hoax), ujaran kebencian, manipulasi seksual terhadap wanita dan anak-anak, penyebaran ideologi sesat, radikalisme dan terorisme.

Tantangan dan solusi
Bertolak dari uraian di atas, jelas terlihat bahwa pendidikan kewarganegaraan di abad ke-21 ini ditandai oleh tiga jenis tantangan. Pertama, bagaimana memadukan antara hal yang khusus dan yang universal, yang lokal, nasional dan internasional, dan yang individu dan masyarakat.

Tantangan kedua, adalah krisis kemanusiaan berupa tindak kekerasan, pelecehan, ujaran kebencian, penghasutan, vandalisme, aksi teror dan perang yang semakin mewabah dan menyebar dengan cepat karena dukungan teknologi digital.

Tantangan ketiga, adalah krisis lingkungan yang semakin parah akibat sampah atau limbah rumah tangga dan industri yang semakin besar volumenya, dan polusi yang menimbulkan pemanasan global, sehingga bencana alam semakin sering terjadi. Pandemi Covid-19 yang sedang melanda dunia, diduga kuat terjadi sebagai dampak lanjutan dari kerusakan ekologi dunia.

Menurut penulis, tantangan pertama dan kedua bisa diselesaikan dengan mengintegrasikan pendidikan hak asasi manusia, pendidikan demokrasi, dan pendidikan lintas budaya dalam mata pendidikan kewarganegaraan. Bantuan lain untuk mengatasi kesulitan tersebut adalah teknologi digital. Sekolah dapat memanfaatkan teknologi digital untuk pendidikan kewarganegaraan. Misalnya, anak-anak dilatih memahami suku, ras, dan kelompok agama lain melalui tayangan Youtube. Mereka juga didorong berinteraksi dengan orang dari lingkungan budaya lain melalui platform media sosial seperti Facebook atau Twitter atau yang lainnya.

Untuk mengatasi kesulitan ketiga, sekolah dapat memperkaya muatan pendidikan kewarganegaraan dengan pembahasan mengenai tema-tema ekologis. Berkaitan dengan itu, sekolah dapat memanfaatkan teknologi digital seperti memperlihatkan tayangan televisi dan Youtube. Dari sana anak-anak bisa menyaksikan sendiri bahwa umat manusia akan hidup harmonis dan damai apabila lingkungan alam lestari. Sebaliknya apabila lingkungan alam dijejali sampah dan limbah, udara dikotori polutan dan hutan digunduli maka bencana banjir, tanah longsor, badai akan membuat umat manusia hidup dalam penderitaan.

Bertolak dari uraian di atas, penulis berpendapat, sudah saatnya sekolah-sekolah di Indonesia mengembangkan pendidikan kewarganegaraan dengan muatan yang lebih komprehensif dan pendekatan yang lebih multidisiplin. Lebih dari itu, pendidikan kewarganegaraan perlu terintergrasikan secara lebih intens dengan teknologi digital, sebagai bagian penting dari sistem pendidikan nasional. Apabila hal ini dilakukan, maka semboyan ‘kita bisa bangkit menjadi bangsa yang tangguh dan mampu bersaing di era teknologi digital, ‘ akan segera menjadi sebuah kenyataan.

***) Ditulis oleh Hasannudin Wahid, Sekretaris Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Anggota Komisi X DPR RI

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*